3 RADAR DAN ANTOLOGI DONGENG


                                             3 RADAR DAN ANTOLOGI DONGENG

Pada malam itu sempat berfikir untuk tidak datang ke kontrakan itu. Malam yang dingin,  sepinya jalanan membuatku mengurungkan kepergian, namun di kamar ini sangatlah penat. Kopi yang telah kering, gula yang sisanya habis dikerumuni semut, penghasil asap ini pun tinggallah satu batang, yang aku niatkan untuk memeras asapnya sebelum bermimpi, mungkin itulah alasannya untuk berfikir lagi, memberanikan diri untuk keluar dan segera bergegas menuju ke kontrakanmu kawan. Aku sampai di sebuah ruangan. Sesampainya di sebuah kamar, dengan poster dan pamflet-pamflet yang mengurungkan para malaikat untuk berkunjung dan mencatat kebaikan orang yang ada di dalamnya, namun ketahuilah, dari kamar itu tercipta banyak sekali peristiwa dan kejadian-kejadian yang dilalui di tengah malam, hingga hingar suara lantunan adzan shubuh. Begitulah sesekali kita menjalani malam dengan penuh rutinitas.
Kita banyak menyelesaikan naskah-naskah puisi yang hampir tidak berbentuk oleh banyaknya coretan-coretan sang editor dan penyair yang mendidik. Selembaran naskah yang tak sengaja menjadi pembersih sisa-sisa bumbu daging tusuk, membicarakan masa depan kepenulisan hingga bertemu satu lagi radar anggun yang siap mengaum di buku yang hampir saja batal berkeliaran dan terbaca. Hari demi hari terlewati, burung yang telah lelah bernyanyi, hingga mati di tangan pemburu, namun sayangnya aku tidak pernah mau menjadi burung yang bisa saja mati di sangkar, tidak pula menjadi pemburu yang mematikan sayap seekor burung menggapai sangkar untuk beranak-pinak.
Puisi-puisi yang kami tulis hanyalah sekedar tampil di rak-rak penerbit dan sang pemuda malas untuk membaca lembarannya, seperti aku yang malas merapihkan jadwal kegiatan harian. Ini adalah antologi yang saya dan kamu tuliskan sembari menunggu tertawa keduakalinya setelah tulisan teman kita. Tulisan yang asing bagi pembaca kata-kata, mungkin kelak aku bisa belajar dari kalian berdua tentang bagaimana menuliskan sebuah madu yang di copy dalam sebuah puisi.
Malam ini aku kembali kawan, kembali pada pukul 05.00 pagi buta untuk sekedar beristirahat dan menggosok gigi yang hampir menguning oleh sedak kita menulis dan berdiskusi semalam. Aku telah lupa dengan pesan dosen untuk mengerjakan tumpukan soal-soal yang akan di ujikan oleh beberapa dosen, aku akan mulai mengerjakannya, kawan, sembari menunggu proposal antologi itu. Membereskan peristirahatan yang telah mulai dimasuki kecoa dan binatang kecil, menyapa kekasihku yang rindu akan setiap kedatangan, mulai memberikan waktu yang berkesan untuknya setelah beberapa hari aku tak menegurnya. Setelah perjumpaan itu engkau menegurku lagi, menyapaku dari pesan singkat yang kau kirimkan dari ponselku. ‘’ Dimana kau kawan, kamar ini telah kusulap menjadi hotel bintang lima setelah kau tinggalkan’’ pesanmu waktu itu. Beberapa hari setelah kau kirimkan pesan itu, aku tak bertemu denganmu lagi, hingga perjumpaanku dengan kalian berdua menghasilkan sebuah proposal yang mungkin cukup, untuk membiayai dan mengunci naskah-naskah yang lama tertidur, dalam file-file laptop yang selalu saja ngedrop ini.
Pada akhirnya naskah puisi-puisi dalam sebuah antologi ini, selalu ada pihak yang sangat menentukan hasil kerja keras kita merangkai setiap bait tulisan. Antologi tiga radar ini kami serahkan kepada proposal, dan coretan tangan pihak terkaitlah yang menentukan kelanjutan cerita dan kisah kami ini. 

Yogyakarta, 2015
Heru Andrian Fatmawijaya

Thanks to radar :
Kawanku - Baharudin Kurdi Raharjo
                 - Anggyta Ryandika Rusman

Comments

Popular Posts